Sektor pertanian (agrikultur) merupakan salah satu sektor utama penggerak ekonomi Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono kontribusi sektor ini terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia pada triwulan 4 tahun 2022 masih mencapai 11% dari jumlah tenaga kerja Indonesia (BPS).
Namun demikian, sektor yang satu ini bukan tidak menghadapi tantangan. Sektor pertanian dikenal sebagai sektor yang sangat tergantung pada iklim dan kondisi alam. Selain itu, pekerjaan sebagai petani juga dikenal sebagai pekerjaan yang membutuhkan kerja keras namun dengan hasil minim.
Pada praktiknya, berikut ini adalah beberapa contoh penerapan Internet of Things (IoT) di bidang pertanian:
Field monitoring system (FMS) adalah teknologi yang digunakan untuk memantau kondisi tanaman dan kondisi iklim di sawah. Kondisi tanaman dan iklim tersebut direkam dan diolah menggunakan sensor secara real-time.
Hasil data dari sensor ini, seperti tingkat sinar matahari, tingkat hujan, kecepatan angin, dan lain sebagainya akan direkam di cloud dan disampaikan kepada petani dalam bentuk data yang muncul di aplikasi. Dengan demikian, petani bisa mengamati kondisi sawah meskipun sedang tidak berada di rumah.
Harapannya adalah dengan data-data tersebut serta pengetahuan yang diperoleh petani selama bekerja dapat digabungkan menjadi satu untuk menghasilkan keputusan terkait pertanian yang lebih tepat.
Drone juga merupakan alat yang berguna untuk membantu petani. Pesawat terbang mini ini dapat digunakan untuk memetakan kondisi tanaman, melacak hewan, menyebarkan irigasi dan menyebarkan pestisida.
Drone tersebut dikontrol menggunakan aplikasi khusus yang juga dapat digunakan untuk menerima data sensor. Dengan demikian, petani tidak perlu mengelilingi sawah atau kebun untuk membasmi hama, atau menyemprot tanaman.
Saat ini produksi pertanian tidak hanya berpusat di sawah maupun kebun, tetapi juga berpusat pada ruang khusus yang disebut dengan greenhouse (greenhouse farming). Greenhouse farming adalah pengembangan tanaman di ruang khusus yang dilingkupi dengan material transparan. Tujuannya adalah supaya tanaman terhindar dari perubahan cuaca yang berlebihan dan hama.
Penerapan inovasi Internet of Things (IoT) di sektor ini adalah dengan menggunakan satu aplikasi terintegrasi untuk mengendalikan pencahayaan, suhu, kelembaban udara dan berbagai kebutuhan pertanian lainnya di area ini. Dengan demikian, petani tidak perlu mengeliling area untuk memeriksa kondisi tanaman maupun memberikan pupuk dan pestisida.
Tidak hanya pada tanaman, teknologi IoT juga dapat diterapkan pada livestock management atau pengelolaan peternakan. Contohnya adalah penanaman chip pada sapi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan peternakan di Tel Aviv, Israel.
Dengan adanya chip pada tubuh sapi tersebut, perusahaan bisa memantau kondisi dan perilaku hewan ternak tersebut melalui sistem komputer, sehingga ketika perilaku aneh maupun kondisi yang tidak wajar, perusahaan bisa segera memisahkan sapi tersebut dari sapi lainnya.
Salah satu tantangan terbesar dari sektor pertanian adalah masalah supply chain, mulai dari pembelian bibit dan pupuk, sampai akses ke konsumen akhir. Petani, khususnya di Indonesia, umumnya menjual hasil pertaniannya kepada pengepul dan dari pengepul kepada pengecer. Ditambah dengan harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, jumlah keuntungan bersih yang diperoleh petani semakin tipis.
Oleh sebab itu, dua aplikasi penting yang dibutuhkan oleh petani saat ini adalah aplikasi pendukung penjualan yang bisa membantu mereka memotong rantai pasok hingga ke konsumen akhir dan aplikasi edukasi untuk membantu mereka lebih memahami cara penggunaan teknologi di bidang pertanian.
Adapun beberapa keuntungan penggunaan Internet of Things (IoT) dalam bidang pertanian adalah sebagai berikut:
Penggunaan teknologi IoT di sektor pertanian dapat meningkatkan efisiensi produksi, karena:
Dengan bantuan Internet of Things (IoT), petani bisa menjangkau konsumen akhir secara langsung dengan tanpa melewati pengepul dan pedagang. Di satu sisi, hal ini akan meningkatkan pendapatan petani, dan di sisi lain konsumen berpeluang untuk membeli produk pertanian dengan harga yang lebih terjangkau karena langsung dari petani.
Meskipun smart farming menawarkan berbagai manfaat yang menguntungkan bagi sektor agrikultur di Indonesia, namun penerapan teknologi ini harus menghadapi berbagai tantangan, diantaranya:
Mayoritas petani dan peternak di Indonesia adalah petani dan peternak skala mikro (gurem), yang mengelola lahan atau ternak dalam jumlah yang sedikit. Bahkan, banyak juga yang hanya merupakan petani pengelola, sementara lahan yang diolahnya dimiliki oleh orang lain yang lebih mampu secara ekonomi. Akibatnya penggunaan berbagai alat teknologi canggih, seperti sensor atau drone yang cukup mahal, terbilang kurang efektif karena mahal dan hanya digunakan untuk area yang sempit.
Seperti yang telah disinggung pada paragraf pembuka di atas bahwasanya petani adalah pekerjaan yang membutuhkan usaha keras, namun memiliki hasil yang sedikit. Hal ini berakibat pada minimnya generasi muda dan dominasi generasi paruh baya yang menggeluti bidang ini.
Masalah regenerasi ini kemudian mengembang pada masalah edukasi dan literasi, yaitu:
Source : https://www.linknet.id/article/contoh-iot-dalam-bidang-pertanian