Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan menyelenggarakan kegiatan Bimbingan Teknis dan Sosialisasi (BTS)
Propaktani Episode 1117 pada hari Senin (1/4) dengan mengangkat tema “Optimalisasi
Lahan Untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan”.
Isu optimalisasi lahan pertanian
untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan merupakan hal yang sangat
penting. Kita menyaksikan sendiri bahwa luas lahan pertanian, khususnya sawah,
tidak mengalami perubahan signifikan, bahkan cenderung berkurang.
Berdasarkan data tahun 1985, saat
Indonesia mencapai swasembada pangan, luas lahan sawah sekitar 9 juta hektar
dengan produksi beras 39 juta ton dan produktivitas 3,9 ton per hektar. Saat
itu, penduduk Indonesia hanya 166 juta jiwa, jauh lebih rendah dibandingkan
saat ini. Saat ini, dengan penduduk 275 juta jiwa, luas sawah yang bisa
ditanami padi hanya 7,46 juta hektar, termasuk sawah irigasi, tadah hujan, dan
rawa. Luas ini justru berkurang dibandingkan tahun 1985, meskipun penduduk saat
itu hanya 166 juta jiwa. Namun demikian, berkat teknologi, produktivitas
nasional saat ini rata-rata mencapai 5,4 ton per hektar, meningkat tajam
dibandingkan tahun 1985. Rata-rata produktivitas sawah irigasi maupun
non-irigasi menunjukkan peningkatan, meskipun ada sawah intensif irigasi yang
memiliki produktivitas jauh di atas 5,4 ton, bahkan mencapai 7-8 ton per
hektar.
Oleh karena itu, opsi pemerintah
dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri adalah
mengoptimalkan lahan pertanian, khususnya persawahan yang ada saat ini, untuk
meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi. Jika tidak ada langkah-langkah
tepat, akibatnya kita akan sangat tergantung pada impor beras dari negara lain.
Kebutuhan esensial kita akan beras, akan pangan, harus bergantung pada negara
lain.
Dr. Ir. Suwandi, M.Si selaku Dirjen
Tanaman Pangan meningkatkan bahwa produksi pangan menjadi fokus utama
pemerintah saat ini. Salah satu strategi yang dicanangkan adalah optimalisasi
lahan, baik lahan kering, tadah hujan, rawa-rawa, maupun sawah irigasi. Lahan-lahan
yang belum pernah dimanfaatkan atau hanya dimanfaatkan sebagian potensinya
menjadi target utama optimasi. Indeks pertanaman di lahan-lahan tersebut akan
ditingkatkan, misalnya dari IP 100 menjadi IP 200. Di lahan sawah irigasi,
intensitas tanam akan diupayakan untuk ditingkatkan. Hal ini dimungkinkan
dengan ketersediaan air irigasi yang memadai, kesuburan tanah yang terjaga, dan
penggunaan benih unggul.
Dr. Ir. Suwandi, M.Si menerangkan
terdapat beberapa faktor kunci untuk optimalisasi lahan diantaranya:
1. Air:
Ketersediaan air irigasi, sumur, dan sumber air lainnya menjadi faktor penentu
utama.
2. Kesuburan
tanah: Penambahan unsur hara dan penggunaan varietas unggul perlu dilakukan
untuk meningkatkan hasil panen.
3. Benih:
Penggunaan benih adaptif lokal, benih hibrida, dan varietas unggul baru dapat
meningkatkan produktivitas.
4. Pupuk:
Alokasi pupuk subsidi yang memadai dan tepat sasaran sangat dibutuhkan petani.
5. Tata
kelola: Penerapan tata kelola air, budidaya, panen, dan pemasaran yang optimal
akan memaksimalkan hasil panen.
Optimalisasi lahan memiliki potensi
besar untuk meningkatkan produksi pangan. Upaya ini harus dilakukan secara
terintegrasi dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang disebutkan di atas.
Dengan demikian, kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional dapat
tercapai.
Rawa pasang surut merupakan daerah
rawa yang dipengaruhi oleh gerakan air pasang surut air laut maupun sungai. Prof.
Dr. IR. Khairil Anwar, M.S. menjelaskan, upaya optimalisasi lahan ini untuk
meningkatkan produksi pangan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu Peningkatan
Indeks Pertanaman (IP) dan peningkatan produktivitas.
Peningkatan Indeks Pertanaman (IP)
ini bertujuan untuk meningkatkan IP dengan menanam padi dua kali setahun
(padi-padi) pada lahan tipe A dan B, dan padi-palawija pada lahan tipe C.
sedangkan pada Peningkatan produktivitas berfokus kepada peningkatan hasil
panen per satuan luas dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti pengelolaan
air dengan pengaturan elevasi muka air, drainase, dan irigasi, pemilihan
varietas unggul yaitu varietas yang tahan terhadap hama penyakit, genangan air,
dan stres lingkungan, pemupukan dan pemupukan yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman dan kondisi tanah, pengendalian hama dan penyakit: dengan cara yang
ramah lingkungan.
Salah satu teknik yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan IP dan produktivitas di lahan rawa pasang surut
adalah sistem surjan. Sistem ini polega na tworzeniu guludan (bedengan) dan
parit untuk mengendalikan elevasi muka air.
Keuntungan sistem surjan antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan
IP dengan memungkinkan tanam padi dan palawija dalam satu tahun.
2. Meningkatkan
produktivitas padi dan palawija.
3. Mengurangi
risiko gagal panen akibat genangan air.
4. Mempermudah
pemupukan dan pengendalian hama penyakit.
Prof. Dr. IR. Khairil Anwar, M.S.
menyampaikan terdapat beberapa komponen penting untuk meningkatkan
produktivitas, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
lahan: disesuaikan dengan karakteristik tanah dan air.
2. Pemilihan
varietas: tahan terhadap hama penyakit, genangan air, dan stres lingkungan.
3. Pengelolaan
air: pengaturan elevasi muka air, drainase, dan irigasi.
4. Pemupukan
dan pemupukan: sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah.
5. Pengendalian
hama dan penyakit: dengan cara yang ramah lingkungan.
Optimalisasi lahan rawa pasang
surut melalui peningkatan IP dan produktivitas dapat meningkatkan produksi
pangan secara signifikan. Sistem surjan dan pemilihan varietas yang tepat
merupakan dua kunci penting untuk mencapai optimalisasi tersebut.
Prof. Dr. Rasti Saraswati, M.Sc.
menjelaskan bahwa optimalisasi lahan tadah hujan merupakan langkah penting
dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Pendekatan yang tepat adalah dengan
menerapkan pertanian berkelanjutan, yang berfokus pada pengelolaan dan
pemanfaatan seluruh sumber daya hayati secara optimal dan harmonis. Salah satu
aspek penting dalam pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan pemanfaatan
bahan organik. Hal ini termasuk pengembalian residu tanaman ke tanah, seperti
penggunaan pupuk kandang dan jerami, yang dilakukan dengan konsep pemupukan
berimbang.
Teknologi hayati memainkan peran
penting dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas tanah, serta menjaga
kelestariannya. Contohnya adalah penggunaan pupuk hayati dan dekomposer hayati.
Pupuk hayati adalah sekumpulan organisme hidup yang aktivitasnya bisa
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah.
Manfaat pupuk hayati antara lain:
1. Menyediakan
hara bagi tanaman (biofertilizer)
2. Memacu
pertumbuhan tanaman (biostimulan)
3. Melindungi
akar tanaman dari hama dan penyakit (biopestisida)
4. Mempercepat
perombakan bahan organik (biodekomposer)
5. Dekomposer
Hayati
Dekomposer hayati adalah teknologi
percepatan perompakan bahan organik yang mampu mempercepat proses pengomposan
dari 2 bulan menjadi 2-4 minggu.
Pengembalian residu organik ke
tanah merupakan kunci pengelolaan lahan kering. Residu tanaman seperti jerami,
batang jagung, dan daun-daun kering dapat dikomposkan atau dikembalikan
langsung ke tanah.
Hasil olahan residu organik berupa
pupuk organik atau kompos umumnya masih rendah kandungannya. Oleh karena itu,
perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitasnya, salah satunya dengan
pengkayaan mikroba penyubur tanah dan penyedar hara. Optimalisasi lahan tadah
hujan melalui penerapan pertanian berkelanjutan, dengan fokus pada pengelolaan
bahan organik, teknologi hayati, dan pengelolaan residu organik, dapat
meningkatkan produktivitas dan kualitas tanah, serta mendukung ketahanan pangan
nasional.
Kebutuhan beras nasional diprediksi
akan terus meningkat dalam 10 tahun ke depan. Dr. I Gusti Made Subiksa
menjelaskan bahwa upaya konvensional tidak akan mampu mengejar kebutuhan
tersebut. Diperlukan upaya radikal untuk meningkatkan produktivitas padi, salah
satunya dengan mengoptimalkan lahan rawa pasang surut. Indonesia memiliki 34
juta hektar lahan rawa, dan sebagian besar belum dioptimalkan dengan baik.
Produktivitas padi di lahan rawa masih rendah dibandingkan dengan lahan sawah
biasa.
Produktivitas lahan pasang surut
masih rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala yang dihadapi petani,
antara lain:
1. Kondisi
tanah: Tanah yang terlalu masam dan mengandung unsur beracun tinggi.
2. Unsur hara:
Status hara tanah rendah dan akses petani terhadap pupuk terbatas.
3. Pengendalian
air: Air tidak dapat dikendalikan dengan baik, sehingga sering terjadi genangan
atau kekeringan.
4. Varietas
padi: Varietas yang ditanam umumnya bukan varietas unggul yang tahan terhadap
hama penyakit dan kondisi lahan pasang surut.
5. Hama
penyakit dan gulma: Gangguan hama penyakit dan gulma masih tinggi.
6. Kehilangan
hasil: Persentase kehilangan hasil panen masih tinggi.
7. Intensitas
tanam: Intensitas tanam masih rendah, rata-rata hanya satu kali setahun.
8. Kondisi
lahan: Lahan tidak mendukung budidaya padi dengan baik, seperti terlalu berat,
bergelombang, atau terlantar.
9. Infrastruktur:
Infrastruktur pertanian seperti irigasi, drainase, dan jalan masih belum
memadai.
10. Kearifan
lokal: Preferensi terhadap padi lokal yang umurnya panjang dan kurang
produktif.
11. Tenaga
kerja: Tenaga kerja untuk mengolah lahan pasang surut masih terbatas.
12. Modal:
Kurangnya modal untuk mengusahakan lahan yang luas
Namun,
terdapat peluang besar untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa melalui:
1. Pengelolaan
air: Memperbaiki infrastruktur irigasi dan drainase, serta mengatur genangan
air untuk mendukung pertumbuhan padi.
2. Ameliorasi
tanah: Mengaplikasikan kapur dan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan
tanah dan menetralisir pH tanah.
3. Pemupukan:
Memberikan pupuk yang tepat dan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
4. Penggunaan
varietas unggul: Menanam varietas padi yang tahan terhadap genangan air, hama
penyakit, dan memiliki produktivitas tinggi.
5. Pengembangan
mekanisasi: Memanfaatkan teknologi dan mesin pertanian untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas budidaya padi.
6. Rehabilitasi
lahan terlantar: Memulihkan lahan rawa terlantar agar dapat kembali produktif.
Optimalisasi
lahan rawa dapat dilakukan melalui beberapa strategi:
1. Memanfaatkan
lahan rawa yang belum optimal: Memfokuskan pengembangan pada lahan rawa yang
memiliki potensi tinggi dan mudah diakses.
2. Meningkatkan
Indeks Pertanaman (IP): Melakukan pola tanam padi dua kali setahun atau
padi-jagung/palawija.
3. Rehabilitasi
lahan terlantar: Memperbaiki infrastruktur dan kondisi tanah lahan rawa
terlantar agar dapat kembali produktif.
4. Penguatan
kelembagaan: Membentuk dan memperkuat kelompok tani dan kelembagaan lainnya
untuk mendukung petani.
5. Pengembangan
penelitian dan inovasi: Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi
budidaya padi di lahan rawa.
6. Peningkatan
akses informasi dan teknologi: Memberikan pelatihan dan pendampingan kepada
petani tentang teknologi budidaya padi di lahan rawa.
Penelitian menunjukkan bahwa lahan
pasang surut memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan produktivitas padi.
Untuk mewujudkannya, diperlukan kebijakan dan program pemerintah yang konkret,
baik dari pusat maupun daerah. Dukungan yang dibutuhkan meliputi pendampingan,
rehabilitasi infrastruktur, bantuan langsung amelioran dan pupuk.
Prioritas utama adalah
merehabilitasi lahan pasang surut yang terlantar. Di saat yang sama, pembukaan
lahan baru juga perlu dilakukan untuk mencapai target pemerintah dalam membuka
1 juta hektar lahan sawah baru. Lahan pasang surut yang potensial untuk sawah
masih tersedia cukup banyak di Indonesia Timur.
Dengan
menerapkan tiga strategi pemanfaatan lahan pasang surut, yaitu intensifikasi
untuk peningkatan produktivitas, ekstensifikasi untuk memperluas areal tanam,
dan peningkatan indeks pertanaman lahan sawah pasang surut, niscaya kemandirian
pangan nasional dapat dicapai dengan mudah.